Dua Tokoh Literasi Nasional Ajarkan Konsep Kepenulisan
PONOROGO- Gerak dalam menumbuhkan literasi masif dilakukan. Beragam diskusi, seminar, dan kegiatan lain dilakukan guna mendukung tumbuhnya jiwa-jiwa literasi. Sayangnya, gerak itu tidak berlanjut pada aksi nyata selepasnya.
Tidak mengherankan Dr. Sutejo, M.Hum selaku pakar literasi Ponorogo menyentil bahwa literasi penuh motivasi tanpa aksi hanya ilusi semata. Pernyataan pedas itu disampaikan dalam talk show literasi HMJ PBA IAIN Ponorogo bertepat di Watoe Dhakon, (Rabu, 26/20) kemarin.
Lelaki penulis 40 judul buku itu menyampaikan konsep literasi Djoko Saryono berupa pemahaman, pemaknaan, penyadaran, dan mensintesakan. Seseorang yang purna literasi sudah selesai. Maksud Sutejo, mampu berimbas pada pemikiran dan juga perilaku. Termasuk perilaku mewujudkan dirinya yang literat, tidak hanya menggerakan semata.
Pihaknya mencontohkan, perilaku literat itu berangkat dari hal sederhana yang kadang terabaikan. Disiplin waktu ketika menyelenggarakan suatu event menjadi satuh satu contohnya. “Literasi itu jangan dipandang sebagai konsep semata, perilaku menjadi yang utama,” ujar lelaki yang sekarang menjabat Ketua STKIP PGRI Ponorogo.
Pernyata itu sebenarnya memberikan teguran sekaligus masukan akan kegiatan talk show siang itu. Sedianya dimulai pukul 08.00, baru pukul 10.00 dimulai. “Jujur sangat perihatin dan apa relevan dikatakan literat. Harus jadi pembelajaran bernilai bagi mereka,” pungkasnya ketika berbincang dengan penulis selepas kegiatan.

Lingkungan juga berpengaruh terbentuknya jiwa literasi. Habituasi atau pembiasaan dalam lingkungan berperan terbentuknya manusia literat. Berkaitan dengan itu, Sutejo menyinggung bahwasanya keteladanan menjadi magnet yang kuat. “Soalnya gerakan literasi adalah gerak keteladanan, bukan seremoni, apalagi show-show yang lain. Literasi soal pembudayaan dan pembiasaan, penopangnya berpikir kritis dan kerja keras,” pungkas lelaki yang pernah diundang dua kali ke istana presiden itu.
Membangun komunitas harus memiliki orientasi yang tepat. Tidak hanya berkumpul dan diskusi melainkan menghasilkan produk kekaryaan. Beberapa komunitas menulis yang Sutejo rintis sejak tahun 80-an misalnya. Sudah menelurkan kekaryaan, baik yang dimuat di media cetak maupun elektronik. Juga buku yang sudah diterbitkan baik bersama maupun individu.
“Komunitas yang bersama saya lahir penulis-penulis hebat. Guru juga penulis berprestasi nasional, wartawan media nasional dan regional, dan sudah ratusan tulisan tersebar di media-media,” pungkasnya.
Kesuksesan membangun komunitas kepenulisan tidak lepas dari keteladannya. Juga konsep N3 (Niteni, Norokne, dan Nambahi) yang dibalut pengalaman menjadi metode menulis yang efektif. Kebiasaan membaca sangat ditekankan kepada para anggota komunitas. “Baca, baca, baca, baru tuliskanlah. Jika tak suka baca, apa yang akan ditulis,” ungkapnya.
Lelaki yang pernah menjadi sosok pilihan Kompas itu menganalogikan membaca itu sepertimakan dan minum. Jika ingin kencing yang banyak harus minum yang banyak. Selaras ketika ingin menulis, tanpa membaca akan kesulitan untuk menulis.
Secara bersamaan talk show literasi itu juga menghadirkan Dr. Halimy Zuhdi, M.Pd. Dosen UIN Malang itu bercerita tentang tokoh-tokoh Islam yang aktif membaca dan berkarya. Bahkan karya-karya itu mampu membuka cakrawala keilmuan era sekarang.
Cerita tentang tokoh Islam itu tidak hanya membuka wawasan bagi peserta. Tetapi, menginspirasi untuk bergulat di bidang literasi. Menurutnya, melalui kekaryaan itu seseorang akan mampu berpikir jernih dan yang utama menghindarkan seseorang dari kepikunan.
Menariknya, lelaki yang pernah mengembara di Timur Tengah berkat berliterasi itu karyanya pernah ditolak oleh penerbit. Namun, tidak lantas menghentikan etos berkarya. Karya tentang lingkup bahasa Arab itu diterbitkan secara mandiri. Bangganya karya itu sekarang menjadi referensi level tingkat Internasional.
“Tidak ada yang namanya jatuh dalam menulis,” Pungkasnya saat ditanya perserta tentang jatuh bagun dalam menulis.
Lelaki yang termasuk 100 penyair dunia di Tunisia itu berpesan kepada peserta yang mayoritas mahasiswa. Mereka harus bijak dalam menggunakan gawai. Menulis yang positif dan mampu menggerakan perubahan untuk orang lain.
“Kalau menulis status jangan yang galau-galau, tetapi yang energik dan beraroma literasi,” pungkasnya.
Talk Show literasi itu berjalan interaktif. Sejumlah peserta mengajukan pertanyaan, Ramadhan misalnya. Ia mengaku sulit menemukan mood yang tepat dalam menulis. Lantas ia bertanya menulis itu apakah harus menunggu mood. Selanjutnya, Usnida Masrorah yang pernah menulis namun dianggap kurang bermanfaat.
Kedua pemateri sepakat mengakatan bahwa menulis itu tidak ada kaitan dengan mood. Karena menulis itu bagian dari seperangkat keterampilan berkat latihan yang berulang. Sedangkan, semua tulisan itu pasti bermanfaat yang utamanya bagi penusnya. “Perlu diingat menulis itu harus mampu menggerakan pembacanya,” ujar Sutejo. Red/Agus (Humas).