Hima Prodi Bahasa Jawa Selenggarakan Diskusi Budaya
Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa STKIP PGRI Ponorogo selenggarakan Diskusi Budaya, Sabtu 8 Februari 2020. Acara ini mengangkat tema Etika Jawa dalam Perspektif Pelestarian Lingkungan. Diskusi yang bertempat di Graha Saraswati STKIP PGRI Ponorogo ini menghadirkan Dian Dwi Cahyoadi, Frengky Nur F.P. dan Achmad Rizal Taufiqi sebagai pemantik diskusi.
Materi pertama dipaparkan oleh Frengky. Pegiat komunitas Sraddha ini memantik dengan materi berjudul “Ngebel dalam Serat Centhini”. Frengky menemukan peran Kiai Kasan Besari dalam pembuatan serat Centhini.
“Satu di antara tiga kyai tersebut adalah Kyai Kasan Besari. Namun andil seperti apa, belum kita ketahui sejauh ini.” paparnya.

Selain itu, Staff LPPM STKIP PGRI Ponorogo ini menemukan banyak pengalaman masyarakat dalam ranah pelestarian lingkungan. Dalam menuliskan pengalaman tersebut dalam serat Centhini, pujangga zaman dulu banyak mengambil materi dari realitas lingkungan.
Materi kedua dipaparkan oleh Dian. Ia memantik dengan materi berjudul “Etika Jawa dalam Perspektif Pelestarian Lingkungan”. Bersumber dari prasasti Taji, Dian memaparkan bahwa sejak zaman dahulu upaya dalam menjaga lingkungan sudah dipegang teguh oleh masyarakat Jawa.

“Prasasti Taji ini adalah prasastinya wong Ponorogo. Kalau orang mau membicarakan Ponorogo ya ini sumbernya.” Ujar Dian dalam membuka materi.
Prasasti Taji berbentuk piagam yang ditulis pada tujuh lempeng tembaga atas perintah seorang Rakryan I watu Tihang bernama Pu Sanggramadhurandara, pada masa pemerintahan Rakai Watukura dyah Balitung. Angka tahun yang terbaca pada lempeng pertama, yaitu 823 saka, atau 901 M. Menurut Dian, prasasti ini ditemukan tahun 1868.
“Selain berisi tata upacara adat dan segala hal yang perlu ada di dalamnya, prasasti ini juga berisi tentang kebiasaan masyarakat Jawa dalam berperilaku yang tetap menjaga lingkungan.” tambah Dian.
Diskusi ini berlangsung selama satu jam tiga puluh menit. Peserta diskusi tampak antusias dalam sesi tanya jawab. Upik, salah satu peserta diskusi menanyakan alasan banyaknya mitos Jawa yang tidak bisa dirasionalkan. Ia berasusmi penyebabnya adalah terputusnya komunikasi dari leluhur Jawa. Hal ini dibantah oleh Dian, yang menganggap faktor utamanya bukan di situ. Namun karena sangat kompleksnya budaya Jawa yang dianut oleh masyarakat Jawa zaman dahulu.
“Diskusi ini adalah sebagai wujud kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk nglaras lagi budaya Jawa yang hari ini banyak ditinggalkan. Tentu misi utamanya untuk pelestarian Budaya Jawa.” ujar Yatim salah satu panitia diskusi. [] Red/ Spt
Galeri Foto:



Previous