Secangkir Kopi, tentang Kisah Sedih Seorang Penulis
Setelah mendengar kabar bahwa novelnya akan terbit, Pinus bergegas pergi ke rumah sahabatnya, Yudhi Katmo. Sayangnya, begitu ia mengetuk pintu rumah sahabat kuliahnya ini, yang muncul adalah Ela, istri dari Yudhi Katmo. Ia masuk ke ruang tamu dengan kikuk. Duduk dalam diam yang lumayan lama. Di seberang meja, Ela pun ikut diam beberapa saat.
“Kopi?” Ela memecah keheningan sambil tersenyum.
Pinus tersenyum mengangguk. Bukankah kurang atau lebihnya rezeki harus dirayakan dengan secangkir kopi. Pernyataan dari Joko Pinurbo ini menggema di benak Pinus. Tatap matanya mengantar Ela yang memakai daster biru dengan corak bunga berwarna putih dengan lengan terbuka masuk ke ruang tengah. Tubuh gemuk perempuan ini kemudian hilang dimakan korden berwarna krem.
Aneh memang. Bukan Asti, istrinya, yang pertama kali mendapat kabar ini. Justru Ela, istri sahabat kuliah Pinus. Lelaki ini dengan semangat mengabarkan bagaimana ia berupaya menyelesaikan novel ini. Buku ini akan menjadi awal dari cerita yang indah kan, ucap Pinus sore itu. Mereka kini berada dalam satu ruang tamu yang sunyi dengan secangkir kopi yang mengepul. Sedangkan di luar, tiba-tiba hujan tumpah begitu deras.
Membandingkan Ela dan Asti secara sekilas, seperti membandingkan antara bumi dan langit. Asti adalah seorang perempuan cantik yang merintis biro perjalanan luar negeri. Kukira kecantikan Asti tidak perlu kujelaskan secara detail di sini. Yang jelas, dulu ketika mereka sama-sama kuliah di Solo, Asti adalah salah satu primadona kampus. Selain penampilan fisiknya yang bisa dikatakan lebih pantas menjadi pramugari, Asti adalah salah satu mahasiswa berprestasi di kampus. Hari ini, biro perjalanan yang dirintisnya pun sudah menjadi salah satu biro perjalanan yang lumayan besar.
Hal ini berbeda dengan Ela. Ia hanyalah ibu rumah tangga dengan pakaian dinas aneka koleksi daster yang jauh dari kata bagus. Pekerjaannya pun hanya berputar-putar dari dapur, pasar, dan rumpi-rumpi bersama ibu-ibu PKK perumahan.
“Mas Pinus, kok ngga kasih kabar dulu?” ucap Ela, memecah diam dan dingin udara.
“Aku berniat mengabarkan kejutan,”
“Mas Yudhi baru pulang jam 7 nanti Mas. Mungkin juga lebih telat dari biasanya juga, karena kabarnya ada rapat di kampus.”
“Aku tahu Ela, oleh sebab itu aku datang sore ini,” batin Pinus.
Ketika masih mahasiswa, Yudhi Katmo pernah bertanya, perempuan seperti apa yang kau idamkan menjadi istri pada Pinus. Mendengar pertanyaan itu, Pinus dengan ketus menjawab: bisa diajak ngobrol, bisa masak, dan yang paling penting adalah bisa membuat secangkir kopi.
“Bisa membuat kopi? Kau ada-ada saja.” tanggapan Yudhi Katmo saat itu.
Ya, bisa membuat kopi adalah satu dari tiga syarat utama yang dibayangkan Pinus sebagai seorang istri bertahun-tahun silam. Dan hal ini sesuatu yang tidak ia dapatkan dari Asti. Perkara soal kopi ini bahkan pernah memicu pertengkaran yang hebat di antara mereka.
“Kau selalu beralasan kopi buatanku tak pernah pas. Ngaku saja, ujung-ujungnya kau pengin ngopi di warung Yu Sri kan!” suatu malam pertengkaran itu pecah di tengah ruang tamu.
“Bukan begitu Asti, mau aku jelaskan sampai detailpun kamu pasti tid—”
“Kopiku kalah mantap? Kenapa tidak kau katakan sekalian kalau mainku juga kalah mantap dengan Yu Sri!”
“Aku tidak mungkin main serong dengan Yu Sri!”
“Mas! Lalu untuk apa kau malam-malam pergi ke sana? Dan pulang karena warung sudah tutup katamu. Pikirmu aku percaya? Pikirmu, aku yang sudah tidur ketika kau pulang bisa percaya begitu saja?” Pinus yang sudah mengenakan jaket kulit, sarung, dan membawa laptop mungil menghampiri Asti. Namun tangannya ditampik. Adegan selanjutnya selalu sama. Asti akan terisak, masuk ke kamar, dan menguncinya. Di keremangan malam-malam seperti itu, Pinus akan memilih membuat kopi sendiri. Kemudian menikmatinya dalam kesunyian di ruang tamu bersama buku dan laptop.
“Diminum kopinya mas,” ucapan halus ini membuyarkan lamunan Pinus. Kemudian ia mengeluarkan kotak rokok dan menyapu pandang ke tubuh meja.
Melihat hal itu, Ela masuk kembali ke ruang tengah. Kemudian keluar membawa asbak dan korek api. “Mas Yudhi sudah berhenti merokok Mas…” ucapnya.
Pinus mengernyitkan dahi. “Ehmm.. Baru sebulan ini. Kata dokter ini sebagai salah satu terap—” tiba-tiba perkataan Ela terpotong. Seperti berusaha meralat percakapan yang terlanjur keluar dari mulutnya, ia mengalihkan, “Pokoknya sudah berhenti Mas. Eh, Mas Yudhi sudah kau kabari mas?”

Pinus menggeleng. Kemudian menyalakan rokok.
“Lho, nanti lama lho mas,”
“Santai saja.” jawab Pinus enteng.
Mendengar omongan Ela yang diralat tadi, membuat Pinus berimajinasi macam-macam. Ia memandang wajah Ela lekat. Perempuan ini memiliki rambut yang keriting. Pipinya lebih tembam dari yang ia bayangkan. Pandang mata Pinus kemudian menyusur dari mata, ke pipi, ke bibir, ke dagu kemudian berhenti di leher ketika Ela kembali menyambung percakapan.
“Mba Asti?”
“Oh baik. Masih sibuk mengurus bironya. Sayangnya sekarang sudah jarang ke luar negeri.”
“Sayangnya?” Ela memiringkan kepala ke kiri.
Kini giliran Pinus yang berusaha meralat omongannya barusan. “I-ya, sayangnya jarang ke luar. Kan lumayan kalau bisa riset gratis untuk tulisan.”
“Oh begitu,” Ela tersenyum. “Tapi apa harus sampai segitunya untuk menghasilkan tulisan?”
“Iyap! Terkadang bukan risetnya, tapi suasana menulis yang lebih nyaman.” Pinus mengeja kata nyaman. Ia berniat memberikan penekanan.
“Wah… Pantas saja tulisan Mas Pinus bagus. Ternyata itu rahasianya.”
“Ela pernah baca?”
“Iyalah Mas, siapa juga yang ngga kenal mas Pinus yang tulisannya sering nongol di koran.” Pinus diam sejenak mendengarnya. Ia baru ingat, keluarga ini berlangganan koran lokal Solo.
“Untuk tulisan terakhir itu, riset atau curhat mas,” Ela menambahkan sambil tersenyum.
Lantaran kesal tidak mendapatkan teman curhat. Ditambah larangan ngopi di warung Yu Sri dari istrinya. Pinus menulis penderitaannya menjadi sebuah cerita pendek yang ia kemas sedemikian rupa.
“Benar juga ya, seperti dalam tulisan mas Pinus,”
“Cerpen. Jenis tulisannya disebut cerpen.” Pinus memotong.
“Iya, maksudku cerpen Mas Pinus, dalam Jawa filosofi perempuan memang seringkali dibagi empat. Wong wadon, wanita, estri, dan putri. Dalam hal ini, Mas Pinus lebih suka yang mana?”
“Perempuan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai perempuan.”
Ela mengernyitkan dahi. Pinus tidak memilih salah satu opsi yang disebutkan Asti.
“Iya, perempuan. Berasal dari kata empu atau bisa kusebut sebagai ahli. Jadi perempuan adalah sang ahli dalam—” perkataan Pinus sengaja ia potong.
“Dalam?”
“Yaaa… Segala hal.” Ia mengambil secangkir kopi, kemudian meminumnya. “Salah satunya ahli dalam membuat secangkir kopi.” Pinus menambahkan sambil menunjukkan cangkir kopi yang dipegang. Ela tersenyum setelahnya.
Pinus membuka ransel. Kemudian ia mengeluarkan setumpuk kertas yang telah kusam.
“Mau baca?” ia menyodorkan tumpukan kertas itu pada Ela.
“Waah… Jadi ini draft novel yang lolos itu?” wajah Ela terlihat berbinar. Pinus membalas dengan senyuman.
Sore itu, hujan bertambah deras mengguyur bumi. Udara dingin kian terasa menusuk tulang. Di sudut salah satu rumah di perumahan Jaten, sepasang manusia berbincang. Perbincangan itu lama-lama semakin hangat dan intim. Si lelaki adalah seorang penulis cerita yang baru saja mendapat kabar baik tentang novelnya yang lolos terbit. Sedangkan perempuan yang kini berada di sampingnya adalah istri dari sahabat si penulis. Penulis novel baru ini berpindah duduk di sebelah si perempuan. Beberapa kali mereka saling lempar senyum. Saling bertukar tatap mata yang hangat. Saling lempar keinginan yang terpendam jauh di lubuk hati masing-masing. []
Ponorogo yang basah pada jam tengah malam
*Cerita pendek ini telah tersiar di Radar Malang edisi 20 Desember 2020
Sapta Arif Nur Wahyudin. Penulis adalah Kepala Humas Kampus Literasi STKIP PGRI Ponorogo. Bisa disapa melalui IG: @saptaarif atau @keluargaliterasi_