Menerobos Lengkara
Astri merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia mengeraskan alunan instrumen marriage d’amour dari ponselnya. Perlahan ia memejamkan mata. Denyut jantungnya berpacu seiring irama musik. Darahnya berdesir. Ia memaksa memejamkan mata lebih dalam. Kemudian meraih bantal dan ia benamkan wajahnya di bantal itu. Ia berteriak sekuat mungkin. Sesak di dada tak juga hilang. Sayup-sayup suara mobil masuk ke pekarangan rumah. Ia membuka bantal, matanya telah sembab.
Sehari sebelumnya, Astri menemui Wage di kantin perpustakaan kampus. Ia melihat lelaki itu duduk di pojok sambil menyandarkan kepala ke tembok. Pandang matanya ke langit-langit. Wage menyesap sisa ampas di cangkir, kemudian ia menyalakan lagi rokoknya. Melihat Astri yang datang padanya, Wage memperbaiki posisi duduk.
“Yu! Kopi dua ya!” teriak Wage.
“Ngga usah Yu! Ngga jadi. Aku hanya sebentar!” Astri melotot pada Wage.
“Besok mereka akan datang.” Astri duduk di depan Wage dengan wajah yang tak karuan. Wage diam, kemudian menampik tangan Astri yang akan mengambil kotak rokoknya.
“Kita ke pujangga kenalan Bapak besok bagaimana?” ketus Astri.
“Lusa, aku sudah janjian lusa.”
“Besok tidak bisa?”
“Perkaranya….”
“Perkaranya, kalau kita ngga segera ke sana, aku bisa dibawa kawin oleh dokter itu, Wage!” potong Astri membuat Wage diam seketika. Wage kembali meraih cangkir kopi yang kosong. Ia mencoba menyesap sisa ampas kopi yang mungkin masih bisa menenangkan pikirannya.
“Kau tidak pernah cerita kalau rumahmu menghadap ke barat…” ucap Wage sambil mengempaskan asap rokoknya ke atas.
“Kaupun juga, sejak kapan rumahmu menghadap ke timur.”
“Kau benar-benar cinta kan?”
“Untuk apa aku jauh-jauh dari rumah ke kampus, ngga adakuliah, masuk ke sarang macan ini, apakah untuk sekadar melihat wajahmu yang belum mandi masih baik-baik saja?”
Mereka diam lagi.
“Aku khawatir padamu, kupikir kau akan bunuh diri.” lanjut Astri lirih. Wage menatap Astri dengan menyipitkan mata.
“Wage, aku ingin bertanya serius. Apakah benar-benar ada jalan keluar pernikahan lusan seperti…”
“Sssssttttsss….” Wage memotong sambil menggenggam tangan Astri.
“Percayalah, pasti ada.”
“Kalau…”
“Astri, jika pun akhirnya kau kawin dengan dokter brengsek itu. Percayalah, tidak semua hal akan hilang dalam arus waktu. Kau harus percaya itu.” Astri diam. Air matanya membasahi pipi.
“Wage, aku takut…” Astri menarik tangannya. Ia menutup wajah dan menunduk. Wage berdiri kemudian pindah duduk di kanan Astri. Ia memeluk kekasihnya.
“Bertahanlah untuk besok. Lusa, aku akan jemput pagi. Aku janji.”
Bagaimanapun, orang tua Astri tidak akan bisa menerima Wage. Astri adalah anak pertama dari keluarga terpandang. Sedangkan Wage adalah anak ketiga dari keluarga seniman. Ayahnya adalah wartawan budaya di koran lokal solo. Sedangkan ibunya membuka sanggar tari di daerah Mangkunegaran. Secara adat Jawa pernikahan mereka disebut lusan. Namun bukan perkara itu yang sebenarnya menjadi alasan orang tua Astri lebih memilih dokter yang sudah bekerja di salah satu rumah sakit swasta Solo. Pertimbangan materi adalah hal utama. Meskipun Wage saat ini sudah mengajar teater di beberapa sekolah, ditambah lelaki gondrong ini juga sedang menyelesaikan tesis di UNS, namun kedua hal ini bukanlah standar jaminan bagi orang tua Astri.
“Coba kau bayangkan, bagaimana tanggapan calon mertuamu, jika melihat calon menantunya adalah laki-laki bertato, gondrong, bertindik, dan kesehariannya hanya mengajar teater.” suatu kali Wage pernah cerita pada sahabatnya, Baron.
“Itu yang akan aku lakukan besok. Berperang dalam keadaan tubuh compang-camping dan penuh luka. Tapi hei! Apakah kau masih percaya cinta?” lanjut Wage.
“Omong kosong! Mana ada orang tua yang berani melepas anaknya dengan janji: aku mencintai anakmu Pak!”
“Asu! Harusnya kamu memberi semangat pada sahabatmu ini lho!” mereka tertawa kemudian.
Astri adalah anak seorang jaksa terkenal di Solo. Kedua adiknya kuliah hukum di Amerika. Astri memilih mengambil jurusan hukum UNS. Menurut pengakuannya, ia tak bisa jauh-jauh dari Solo. Bukan karena orang tuanya yang suka membanding-bandingkan Astri dengan anak jaksa lain. Wage adalah alasan utamanya. Astri tidak bisa memelihara jarak yang jauh dengan kekasihnya itu.
Di satu sore yang tidak akan dilupakan oleh Astri, Wage datang secara tiba-tiba ke rumah. Lelaki ini memarkir GL Pro 90-nya di samping deretan tiga mobil mewah keluarga Astri. Sebelum mengetuk pintu, lelaki ini mengeluarkan bingkisan bunga dari ransel. Sayangnya, untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Bukan Astri yang membuka pintu ketika bel usai dibunyikan. Seorang lelaki tinggi besar dengan kumis tebal yang berdiri mantap di muka pintu. Lelaki berkumis tebal ini adalah ayah Astri. Ia memandang Wage dari atas ke bawah, ke atas, dan ke bawah lagi. Ia mengulanginya berkali-kali dengan mata yang tajam dan raut wajah sinis. Ini tidak akan pernah berjalan mulus, batin Wage seketika.
Benar saja. Wage tidak dipersilakan masuk ke ruang tamu. Mereka duduk di kursi teras. Belum genap Wage menata napas, hujan pertanyaan bertubi-tubi mengarah padanya. Diawali dari pekerjaan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, alamat, hingga pertanyaan menghadap ke mana rumahmu. Namun setiap kali Wage akan berbicara banyak, Ayah Astri langsung memotongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting.
“Maaf, Nak Wage, sekarang Astri benar-benar tidak bisa ditemui. Ia pergi belanja keperluan menyambut tamu keluarga dokter dari Jakarta. Jika Nak Wage, berpikiran ingin meminang Astri, pertimbangkan lagi. Astri anak sulung, sedangkan Nak Wage anak ketiga, ditambah lagi rumah ini menghadap ke barat sedangkan………..” rangkaian kalimat ini sebenarnya lebih panjang lagi. Namun tak ada yang masuk satu pun di ingatan Wage. Semua penjelasan yang ada hanyalah dalih untuk memperkuat bahwa Astri tidak akan menikah dengan Wage. Atau jika dengan bahasa kasar: pulanglah! Astri tidak pantas untukmu. Begitulah isi pikiran Wage meninggalkan rumah Astri. Sepanjang jalan ia habiskan dengan mengumpat. Wage paham betul, Astri sedang di rumah. Ia anggap hari itu sedang sial. Kemudian segala yang keluar dari mulut lelaki brengsek yang ternyata adalah ayah dari kekasihnya itu hanyalah omong kosong belaka. Omong kosong jika Astri menerima pinangan dokter brengsek itu. Dan omong kosong juga soal rencana silaturahmi keluarga dokter brengsek itu yang jauh-jauh dari Jakarta.
Namun kenyataannya, perihal silaturahmi keluarga dokter yang dari Jakarta memang benar adanya. Hal inilah yang membuat Wage semakin meradang. Sedangkan Astri seakan sudah pupus harapan.
Malam ini, ketika langit malam masih menyisakan gerimis. Sayup-sayup datang suara mobil di halaman rumah Astri. Perempuan ini masih bertarung dalam gelisah di kamar. Ada setumpuk rasa sesak yang siap meledak. Tiba-tba pintu kamarnya diketuk. Ibunya meminta ia bersiap.
“Astri, percayalah, tidak semua hal akan hilang dalam arus waktu. Kau harus percaya itu.” Astri merasakan bisikan suara Wage begitu dekat di telinganya.
Kemudian ia meraih ponsel mengirim pesan. Astri membuka lemari. Ia bergegas ganti baju. Di tengah malam yang dingin, ketika gerimis masih menjulurkan kaki-kakinya ke tubuh bumi, seorang perempuan cantik keluar dari jendela kamarnya. Ia berlari bertelanjang kaki menerobos kebun belakang rumah. Menerobos gerimis. Menerobos nasib yang dipaksakan oleh orang tuanya. Di lain tempat, seorang laki-laki terpaku seakan tak percaya membuka pesan di ponselnya.
“Jemput aku di depan balai desa Bekonang! Sekarang!”
***
Oktober yang basah di Bumi Reyog
Cerpen ini tersiar di Litera Radar Madiun edisi 24 Januari 2021
SAPTA ARIF NUR WAHYUDIN. Penulis adalah Kepala Humas STKIP PGRI Ponorogo. Bisa dihubungi melalui IG: @saptaarif atau @keluargaliterasi_.